Aswaja
Politisi Nahdatul Ulama
Oleh:
Desi Fitria
Judul Buku
|
Aswaja Politisi Nahdatul Ulama
|
Pengarang
|
Abdul Halim
|
Penerbit
|
LP3S
|
Tahun
Terbit
|
2014
|
Tempat Terbit
|
Jakarta
|
Cetakan
|
1 (Pertama)
|
Jumlah Halaman
|
362
|
ISBN
|
978-602-7984-04-2
|
Batas Kanan
|
2 cm
|
Batas Kiri
|
1 cm
|
Batas Atas
|
1 cm
|
Batas Bawah
|
1 cm
|
Tebal
|
2,5 cm
|
Font
|
12
|
Jenis Huruf
|
Times New Roman
|
Para
elite Nahdatul Ulama (NU) di empat partai politik Islam: PPP, PKB, PKNU, dan
PKS, menggunakan pemahaman ahlus sunah wal jamaah (Aswaja) sebagai landasan pemahaman. Adapun landasan pemahaman
tersebut terbagi menjadi lima aspek. Pertama, ideologi politik, kepemimpinan
dan demokrasi, kesetaraan antar warga, formalisasi syari’at Islam, dan
kebijakan politik.
Teks
tentang ideologi meliputi teks suci Al-Quran dan Hadits, di mana sumber
hukum diambil di dalamnya, konsensus ulama (Ijma’), analogi huku (qiyas), ijma’
dan qiyas ini diperoleh berdasarkan pemikiran yang mendalam berasal dari
ijtihad. Selain itu, ideologi Nu terdapat pada tiga sendi utama yakni iman,
Islam, dan ihsan. Tiga sendi ini meyakini lima rukun islam, juga meyakini rukun
iman ada enam.
Teks tentang
kepemimpinan dan demokrasi, dalam hal ini
menjelaskan bahwa pemimpin diangkat oleh hukum, dalam kepemimpinan dan demokrasi
harus ada kedilan dan kejujuran. kepemimpinan juga menggunakan hukum loyalitas
rakyat, hukum oposisi yang loyal.
Teks tentang kesetaraan
antar warga, hal ini meliputi kesetaraan hak dasar
manusia. Semua orang setara, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Kesetaraan
dalam kepemimpinan antara muslim dan non muslim, menurut ijma’ pemimpin non
muslim dianggap tidak sah.
Selanjutnya
persamaan di hadapan hukum antar strata sosial, dalam hukum tidak ada perbedaan
antara orang mulia dan orang tak mulia, kaum elit atau kaum rendah, orang kuat
atau orang lemah, semuanya setara dimata hukum. Kesetaraan gender dalam
kepemimpinan, dalam kepemimpinan nasional ulama menyebutkan bahwa laki-laki
sebagai salah satu syarat pemimpin.
Berbeda
dengan Muhammad al-Ghazali, ia berpandangan bahwa pemimpin tak harus perempuan.
Argumen tersebut berdasarkan kekaguman Allah SWT terhadap kepemimpinan Ratu
Bilqis yang memiliki ide brilian dalam menguji kepemimpinan Nabi Sulaiman.
Kesetaraan Yudikatif, al- Mawardi mensyaratkan laki-laki sebagai seorang
hakim. Mayoritas (jumhur) ulama, madzhab Hanbali, Syafi’i, Maliki, dan sebagian
madzhab Hanafi. Sementara pendapat lain menyatakan bahwasannya perempuan boleh
menjadi hakim, karena ia diperbolehkan menjadi saksi.
Teks tentang formalisasi
syari’at Islam,
meliputi pelembagaan syari’at Islam. Mengenai pelembagaan ada dua
pembahasan yakni hukum menerapkan syari’at Islam dan metode pelembagaan
syari’at Islam. Adapun orang yang memutuskan tidak sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah, dalam hukum ia dianggap kafir, zalim, dan fasik.
Namun
menurut al-Qurthubi, orang demikian yakni tidak termasuk kafir tapi
sebatas melakukan dosa besar. Sedangkan al-Quth, Ibn Taimiyah, menganggap
hukum yang tidak menerapkan hukum Allah ialah kafir.
Poin
kedua mengenai metode pemberlakuan Syari’at Islam, islam menggunakan konsep “rahmatan lil ‘alamin” kasih sayang
terhadap sesama maupun terhadap alam. Tak ada paksaan dalam beragama (kebebasan
beragama), dalam pemerintahan menggunkan prinsip musywarah, keadilan, dan
persamaan.
Teks tentang kebijakan
politik, menurut
al-Qurthubi Surah an-Nisa ayat 56 menjelaskan tentang tanggung jawab
para pemimpin dalam mengemban amanat untuk mengalokasikan anggaran negara,
menjaga keamanan, dan bersikap adil dalam segala keputusan.
Sedangkan
menurut Imam Ghazali, maslahat ialah sebuah ungkapan yang menujukan adanya
(usaha) mengambil manfaat dan menolak madarat. Menurut Imam Zarkasyi (penganut
mazhab Syafi’i), maksud maslahat adalah menjaga (segala sesuatu) yang menjadi
tujuan syari’at dengan cara menolak atau menghindarkan makhluk (Allah) dari
sesuatu yang buruk. Menurut Muhammad Sa’id, maslahat merupakan manfaat yang
dikehendaki Pembuat Hukum (Allah) kepada hambanya berupa menjaga agama, jiwa,
akal, nasab, dan harta mereka berdasarkan urutan yang ada di antara
manfaat-manfaat tersebut.
Selanjutnya, pemahaman aswaja elit NU terntang
ideologi politik menghasilkan beragam persepsi:
PPP,
memandang aswaja ialah metode berpikir tentang bagaimana memahami dan
meneruskan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Elit NU di PKB pada
umumnya melihat dan memahami ideologi secara fungsional, yaitu sebagai
pemikiran, metode berpikir, sekaligus penuntun prilaku. Selanjutnya PKNU,
partai ini didirikan oleh politikus yang sebelumnya menjadi pengurus dan elite
NU di PKB. Sehingga pemahaman elite NU di PKNU memiliki kesamaan dengan PKB. Di
mana ideologi partai berasaskan Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah, bercirikan
religius, huanisme dan nasionalis, demokratis dan menjujung tinggi musyawarah.
Sementara dasar ideologi PKS menurut
mantan presiden PK (sekarang PKS), Nur Mahmudi Isma’il, ideologi PKS sesuai
dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Yakni mengandung dua
kepentingan dasar, ke-Islaman dan Pancasila. Sehingga Islam sebagai pemandu dan
pedoman dalam berprinsip pada pancasila. PKS memperjuangkan terwujudnya
masyarakat madani.
Pemahaman Aswaja Elite NU tentang
Kepemimpinan dan Demokrasi.
PPP
tentang kepemimpinan dan demokrasi, aswaja ialah ajaran dinamis oleh karenanya
pembentukan negara harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. Aswaja
dijadikan ikatan dalam kepemimpinan dan demokrasi. PKB, negara dibutuhkan oleh
rakyat dan kepala negara haruslah memiliki legitimasi keagamaan untuk memimpin.
Aswaja di PKB memberikan prinsip musyawarah, keadilan, dan kemaslahatan.
PKNU,
seorang pemimpin hendaknya menjalankan kepemimpinannya secara konsisten dan
bertanggung jawab. PKS, demokrasi adalah pilihan dalam sistem tata kehidupan
kenegaraan. Demokrasi dalam kepemimpinan harus mampu melahirkan masyarakat
madani.
Buku
yang berjudul Aswaja Politisi Nahdatul Ulama ini, membahas tentang bagaimana
dalil-dalil Nahdatul Ulama (NU) dijadikan sebagai landasan pemahaman partai
politik. Di mana landasan pemahaman tersebut terbagi menjadi lima aspek, ideologi
politik, kepemimpinan dan demokrasi, kesetaraan antar warga, formalisasi
syari’at Islam, dan kebijakan politik.
Sistematika
pendekatan dalam buku ini menggunakan pendekatan politik, dan disusun
menggunakan penelitian sekunder dengan metode heuristik. Selain sekunder, buku
ini pun disusun menggunakan penelitian primer, di mana dalam penyusunannya Abdul
Halim melakukan wawancara dengan bebrapa narasumber. Buku ini cukup enak
dibaca, karena setelah pemaparan ada istinbath
(penjelasan) ulang menggunakan bahasa yang lebih ringan.
Komentar
Posting Komentar