MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KAWASAN
AFRIKA
SEJARAH MAURITANIA
Dosen : Dr. H. M. Muslih Idris,
Lc., M.A
Disusun Oleh : Kelompok 6
Disusun Oleh : Kelompok 6
·
Desi Fitria
·
Neng Riska Hestiani
·
Nurwanti
·
Ubaidillah
Semester/Kelas : SKI / IVC
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015-201
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, begitu banyak nikmat yang telah Allah SWT berikan
kepada kita akan tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji bagi Allah SWT.
Pencipta alam semesta atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul “Sejarah Mauritania.” Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yakni Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.
Apa yang disajikan dalam makalah ini merupakan sejarah Mauritania, meliputi
sekilas sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Mauritania, masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi manfaat bagi para pembaca
umumnya dan bagi teman-teman Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada
khususnya. Tak hanya itu, besar harapan penulis agar makalah ini tak hanya
dibaca, akan tetapi pembaca juga dapat belajar dari sejarah tersebut. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya demi berkembangnya makalah ini
menjadi makalah yang selayaknya karya ilmiah yang dapat menjadi sumber rujukan
pembaca.
Akhirnya penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen
mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam Kawasan Afrika, M. Muslih Idris yang telah
memberikan penulis kesempatan dalam menuangkan hasi penelitiannya melalui karya
ilmiah ini. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan
teman-teman seperjuangan yang telah memberikan penulis semangat, hingga akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Jakarta, Mei 2016
(Penulis)
Jakarta, Mei 2016
(Penulis)
i
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masuknya
Islam ke benua Afrika khususnya
Mauritania diawali oleh kelompok suku
Berber Sanhadja menerobos masuk Sahara Atlantik (Mauritania) dari Utara, yang
sedang dikepung orang Arab dan Islam. Menjelang abad ke-11 Islam sudah mulai
merembes ke wilayah Sanhadja, dan pada pertengahan abad 11 Abdullah Ibn Yasin
(muslim fanatik) berhasil mengislamkan suku Sanhadja di bawah kekuasaan
al-moravid (al-Murabitun).
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Mauritania?
2.
Bagaimana sejarah
masa kolonial hingga kemerdekaan Mauritnia?
3.
Bagaimana
keadaan Mauritania pasca kemerdekaan?
C. Tujuan
·
Untuk mengetahui sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Mauitania, sejarah masa kolonial hingga kemerdekaan,
serta keadaan Mauritania pasca kemerdekaan.
·
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Islam Kawasan Afrika yang membahas tentang sejarah Mauritania.
ii
BAB
II
DAFTAR
ISI
Kata
pengantar
...............................................................................................................
i
BAB
I
Pendahuluan
.................................................................................................................
ii
BAB
II
Daftar
isi
.......................................................................................................................
ii
BAB
III
Pembahasan .................................................................................................................
1
a. Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Mauritania.....................................
1
b. Sejarah masa kolonial hingga kemerdekaan Mauritnia
.......................................... 4
c. Keadaan Mauritania pasca kemerdekaan
............................................................... 7
BAB
IV
Kesimpulan
...................................................................................................................
9
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................................10
ii
BAB III
PEMBAHASAN
Letak Geografis Mauritania
Mauritania terletak di Afrika Utara, tepatnya di Gurun Sahara,
berbatasan dengan Lautan Atlantik, Sahara Barat, Aljazair, Mali dan Senegal.
Mempunyai luas wilayah sekitar 1.030.700 km2, beriklim panas, kering dan
berdebu. Negara seluas itu berpenduduk 2.998.563 jiwa (Juli 2004), mayoritas
beragama islam, dengan angka pertumbuhan sekitar 2,91%. Angka kelahiran
berjumlah 41,79% dan angka kematian 12,74 %.
Sebagai negara Republik Islam, Mauritania adalah
keturunan Arab dan Berber putih, sedang sebagian lainnya merupakan suku-suku
kulit hitam: Suku Sarakol, Fullani, dan suku Wolof yang juga terdapat di
Sinegal. Warga kulit putih tebagi menjadi kelompok “Hasaniyyah” atau kelompok
“Arab”, dan kelompok “Husayniyyah” atau kelompok “Berber”. Suku-suku Berber yang
tinggal di negeri ini juga dinamakan suku Zawiyyah.
Bahasa nasional mereka adalah Arab Hassaniyyah,
yaitu bahasa Arab dengan dengan campuran kata-kata Berber. Bahasa Perancis dan
bahasa lokal, seperti Pulaar, Soninke dan Wolof juga resmi digunakan.
Terdapat sejumlah kasta yang berkembang pada
masyarakat Mauritania: yakni kasta Nomad, Arab, dan Berber, yang masing-masing mengklaim diri sebagai kelompok
bangsawan, sementara kelompok lain yang
tinggal di perkotaan yang terdiri kasta musikus, pengrajin, pencari ikan
dan sejumlah kelompok lainnya, masing-masing berada pada tingkatan yang berbeda
di tengah masyarakat.[1]
Sekilas sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Mauritania
Lama sebelum Era Kristen, kelompok suku
Berber Sanhadja (suku yang mendiami kawasan Mauritania) menerobos masuk Sahara
Atlantik (Mauritania) dari Utara. Akhirnya Sahara Atlantik menjadi tempat
berlindung suku Berber yang menentang pengaruh Arab dan Islam. Di perkirakan
agama Islam telah bersentuhan dengan suku Sanhadja sejak masa sahabat ‘Uqbah
bin nafi’ memasuki Afrika Timur[2].
Menjelang abad ke-11 Islam sudah mulai
merembes ke wilayah Sanhadja, dan pada pertengahan abad 11 Abdullah Ibn Yasin (muslim fanatik) berhasil
mengislamkan suku Sanhadja.
Mauritania
pada abad 11 dan 12 ialah salah satu wilayah kekuasaan Dinasti Murabitun, di
antara negara-negara lain yang termasuk dibawah kekuasaan Murabitun ialah
Maroko, Spanyol Selatan dan Portugal, Aljazair Barat, dan sebagian Mali.
Mauritania salah satu negara Arab yang mayoritas Islam, di mana nama Mauritania
sendiri memiliki arti “negeri kaum muslim.[3]”
Mauritania
di-islamkan oleh Al-moravids (al-Murabithun), yang berpusat di dekat wilayah
tersebut yakni di Atthar sejak tahun 442/15. Banyak warga Mauritania
menjalankan thareqat Qadiriyyah, dan Tijaniyyah merupakan thareqat terbesar di
wilayah selatan negeri ini.[4] 99%
warga Mauritania adalah muslim pengikut mazhab fiqh Maliki.
Nama tradisional Mauritania sendiri adalah Bilad al-Bidan (Negeri Orang-Orang
Putih), dan di kalangan Afrika Utara negeri ini dikenal dengan nama Shinqit, dari nama sebuah kota suci
yang dalam bahasa Perancis disebut Chinguetti.
Sekalipun tergolong pemerintahan republikan, wilayah padang pasir ini
dikepalai oleh seorang emir. Meskipun pada
tahun 1150 H kekaisaran Al-moravid runtuh, tetapi suku Sanhadja telah berhasil
mengislamkan orang Afrika Barat Laut.
Perkembangan Islam
di Mauritania
Mauritania dikenal sangat kental sebagai
Republik Islam. Islam diterapkan dalam segala faktor kehidupan, baik sosial,
politik, budaya maupun ekonomi. Oleh karena itu, Islam di Mauritania tidak
perlu diperjuangkan seperti negara-negara Afrika hitam lainnya, namun perlu
dikembangkan dengan benar, sesuai al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dalam Konstitusi yang telah diratifikasi pada
tanggal 20 Juli 1991 ditegaskan bahwa ‘Mauritania adalah Republik Islam yang
tak dapat diubah’. Selanjutnya dalam pasal 5 UUD tersebut dinyatakan bahwa
‘Islam adalah agama penduduk dan negara’. Dengan dua ayat tersebut menunjukkan
bahwa Mauritania bukan negara sekuler, dan terjemahan selanjutnya adalah bahwa
setiap penduduk Mauritania adalah Muslim, dan pegawai negeri di negara tersebut
secara resmi harus beragama Islam.
Namun, menyusul peristiwa pemboman WTC New York
pada tanggal 11 September 2001, pemerintah Mauritania tidak ingin dijadikan
sasaran kemarahan Barat, karena semata Mauritania adalah negara Islam. Seluruh
kegiatan keagamaan di Mauritania diawas oleh Kementerian Pengembangan dan
Kebudayaan Islam. Sehingga pemerintah akan mudah mengontrol, apakah kehidupan
keberagamaan di Mauritania masih tetap moderat atau sudah sampai pada tahap
ekstrim. Karena perlu diingat, bahwa memang Pemerintah Mauritania mempunyai
kedekatan hubungan, baik dengan Amerika Serikat maupun Israel.
Pemerintah Mauritania, yang memang
sebagai Negara Islam, tentu tak mau tercemar oleh kegiatan asing, semisal
al-Qaedah, yang bisa saja meracuni generasi muda. Saat ini, memang banyak
generasi muda Islam di belahan dunia manapun, sangat membenci terhadap
ambivalensi politik luar negeri Amerika Serikat, yang dianggap sangat memusuhi
Islam, sehingga mereka banyak terjebak pada tindakan teror sebagaimana
dilakukan oleh al-Qaedah. Oleh
karena itu, Mauritania sebagai negara Islam, tak ingin dianggap sebagai negara
Islam yang suka dengan kekerasan dan memusuhi negara atau agama lain. Bila ini
terjadi, tentu akan membahayakan pemerintah Mauritania sendiri. Pernyataan ini
disampaikan oleh Perdana Menteri Mauritania, Sheikh Al Avia Ould Mohamed
Khounala pada tanggal 18 Mei 2003 yang lalu. Mauritania adalah negara Islam tak
terkenal di Afrika Utara, ternyata sangat membanggakan bagi perkembangan Islam
di dunia.
Masa Kolonial
Orang-orang Portugis mendirikan pos-pos
dagangnya di Mauritania pada abad ke-15. Kemudian menyusul orang Spanyol pada
abad ke-16 yang selanjutnya digantikan oleh orang Belanda, Prancis dan Inggris
abad ke-17 dan 18. Perjanjian Paris pada 1814 memberikan hak pada Prancis atas
pantai Sahara Barat (Mauritania)[5].
Prancis
lebih mudah menguasai Senegal daripada Mauritania, para emir suku Moor
menentang pemerintahan Prancis dan melawannya dengan gigih. Menjelang tahun
1899, Prancis kewalahan menghadapi serangan dan pemberontakan suku Moor.
Sehingga pemerintahan Prancis mengumumkan maksudnya untuk menyatukan berbagai
wilayah yang dihuni oleh suku Moor, dibawah nama Mauritania Barat.
Seluruh Afrika menjadi wilayah jajahan
kolonialisme Eropa. Tak ada sejengkal tanahpun yang tak terjajah. Ada berbagai
macam bentuk kebuasan kaum kolonial Eropa di Afrika, di antaranya adalah
sebagai berikut.
Pertama, kaum kolonial memonopoli seluruh kekayaan dan
perekonomian Afrika. Tak ada sedikit pun yang disisakan untuk penduduk pribumi.
Mereka dibiarkan terus kelaparan dan menderita. Kedua, penduduk pribumi tidak hanya dibuat terhalang dari merasakan
hasil kekayaan negeri sendiri. Tapi mereka juga dieksploitasi lewat perdagangan
budak yang semarak dipraktikan di Afrika.
Dibarengi penistaan dan kezaliman, pada
orang-orang dewasa, para perempuan, anak-anak digiring ke pasar-pasar budak. Setibanya
di pasar, mereka semua mendapat penghinaan dan permusuhan, utamanya para
perempuan. Siapapun yang melawan langsung diancam akan disiksa dan seterusnya.
Setelah itu, budak-budak yang sudah terjual dibawa kewilayah lain dan kepulauan
Karibia. Mereka disuruh mengolah lahan, sementara hasilnya dinikmati seluruhnya
oleh kaum kolonial.
Ketika diangkut dengan menggunakan
kapal, ribuan dari mereka harus meregang
nyawa akibat diperlakukan sangat buruk, tidak diberi makan dan tidak
diurusi kesehatan mereka. Mereka yang mati kemudian dilempar kelaut, menjadi
santapan ikan. Cambuk dan bunuh menjadi cara ampuh untuk memberi pelajaran bagi
mereka yang membangkang.
Setibanya mereka sampai kepada tuan-tuan
mereka, mereka masih tetap menerima penyikasaan dan penderitaan. Selama masih
hidup, mereka terus menderita. Sejumlah peraturan pun dibuat supaya mereka
tidak bisa menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Sementara itu, para
tuan diberi hak penuh untuk mengeksploitasi budak-budak mereka sekehendak
mereka.
Perbudakan adalah salah satu cara kaum
penjajah untuk menghapus identitas penduduk Afrika. Politik biadab ini
diterapkan kepada seluruh penduduk pribumi, baik muslim maupun nonmuslim. Jumlah
budak yang mati dalam perjalanan menuju tempat baru, sudah lebih dari 80 juta
orang, sekitar setengah dari jumlah budak selamat sampai tujuan.
Ketiga, kolonialisme mengambil alih
seluruh wilayah subur Afrika dan mengusir penduduk pribumi yang ada di sana.
Penduduk pribumi yang terusir ini kemudian pergi mengungsi ke wilayah-wlayah
Afrika lainnya yang gersang dan tandus. Pada saat bersamaan, kolonialisme juga
mendorong warga negeri mereka masing-masing untuk mendiami dan menempati
wilayah-wilayah subur tersebut.
Keempat, kolonialisme telah mencabik-cabik benua Afrika dan
menghacurkan semua kerajaan kunonya. Lalu mengotak-ngotakkan wilayah dan
penduduknya menjadi negara-negara kecil. Sebelum pergi dari Afrika,
kolonialisme sudah terlebih dahulu menebar benih-benih fitnah dan perpecahan di
sana, serta menyebar banyak orang asing yang bertugas menyulut api pertikaian
antar ras. Ini semua dimaksudkan agar Afrika sarat konflik sehingga menjadi
sasaran utama senjata kolonial.
Kelima, kolonialisme memakai politik Apartheid. Ras kulit
putih diberi kebebasan untuk menikmati kehidupan yang tenang dan sejahtera,
sementara penduduk pribumi sebaliknya, mereka dibiarkan hidup miskin. Warga
kulit putih hidup dalam kemakmuran dan menempati kedudukan-kedudukan tinggi,
sementara warga kulit hitam selalu hidup dalam penderitaan dan dihalangi
menduduki posisi-posisi terhormat negeri.
Keenam, saat menyadari takkan bertahan di Afrika,
kolonialisme langsung menyerahkan kendali negeri ke tangan orang-orang
rekrutannya, sekalipun minoritas di sana. Sebab itu, banyak negeri Afrika yang
penduduknya mayoritas muslim justru dipimpin oleh para penguasa nonmuslim.
Ketujuh, kolonialisme terus berupaya memerangi Islam dan
menyebarkan agama Kristen di Afrika. Lembaga-lembaga pendidikan dan rumah-rumah
sakit dibangun sebagai sarana utama penyebaran Kristen. Terlepas dari semua
upaya ini, keberhasilan yang dicapai kaum misionaris Kristen hanya pada batas
minimal dan hanya di lingkup penduduk pagan. Adapun bagi mayoritas penduduk
Afrika, kolonialisme menjadi entitas yang sangat dibenci, juga semua hal yang
terkait dengannya, termasuk agama Kristen
yang dibawanya.
Kedelapan, kolonialisme Eropa menghancurkan seluruh warisan
peradaban dan pemikiran negeri. Akibatnya, hingga kini, Afrika menjadi benua
termiskin dan terbelakang di dunia.[6]
Adanya ketidak adilan, diskriminasi, serta penjajahan yang menyebabkan penduduk
Afrika menderita tentu mereka tak akan tinggal diam.
Perlawanan dimulai semenjak kolonialisme
menginjakkan kakinya di tanah Afrika. Perlawanan ini membuat perlakuan
kolonialisme menjadi semakin kejam terhadap penduduk pribumi Afrika. Kaum muslim
sangat berperan besar dalam perlawanan tersebut, dibantu penduduk pribumi.
Gelegar gerakan perlawanan yang muncul
di Asia terdengar sampai ke Afrika, membuat penduduk Afrika tergerak untuk
memerdekakan diri. Perang dunia II dan kekalahan sekutu juga berandil besar
dalam mengobarkan sejumlah revolusi di Afrika sekaligus mengurangi kekuatan
kolonial.[7]
Pasca Kemerdekaan Mauritania
Politik
dan ekonomi
Mauritania mendapat pemerintahannya
sendiri pada tahun 1958[8] dan merdeka secara penuh pada 28 November
1960. Menurut konstitusi 1961, Mauritania adalah negara republik dengan kepala
negara presiden. Presiden pertama Mauritania yakni Moktar Ould Daddah, ia seorang
presiden yang otoriter. Pada masa pemerintahannya, ia menerapkan konstitusi
satu partai[9], sehingga dengan mudah ia
memenangkan pemilu 1976. Dadah beranggapan bahwa Mauritania tidak sanggup jika
menggunakan sistem banyak partai seperti di Eropa. Karena pemerintahannya yang
otoriter, ia akhirnya digulingkan dalam suatu kudeta militer pada 10 Juli 1978.
Sejak saat itu, Mauritania diperintah oleh militer. Pada 1976 Mauritania
mengakuisisi bagian dari Sahara Spanyol (sekarang Barat Sahara) dan pada ahun
1979 Mauritania melepaskan tuntutannya atas Sahara Barat.
Keadaan negara Mauritania semakin
semeraut dengan seringnya terjadi kudeta dari pihak militer, tercatat empat
kali kudeta berlangsung sejak kemerdekaan hingga tahun 2007. Kudeta kedua terjadi pada tanggal 2 Desember 1984 oleh Letnan
Kolonel Maayouia (Muawiyah) Ould Sid (Sayyid) Ahmed Taya (lahir di Atar,
selatan Mauritania, pada tahun 1941) melakukan kudeta berdarah tesebut[10].
Ahmed Taya bersikap netral terhadap Polisario (Sahara Barat). Sebaliknya, pada tahun
1989, terjadi perang perbatasan dengan Senegal, dan akibatnya puluhan ribu
penduduk asli Afrika (Fulaar/Fulani, Soninke dan
Wolof) diusir dari Mauritania. Namun akhirnya, hubungan dengan Senegal membaik
kembali. Sedangkan untuk mempererat dengan sesama negara Arab Maghribi,
Mauritania membentuk The Union of The Arab Maghreb bersama Maroko (Morocco)
Libya, Tunisia dan Aljazair (Algeria). Organisasi bergerak dalam bidang politik
dan ekonomi.
Pada tahun 1991-1992, Presiden Ahmed Taya mengadakan reformasi
politik, dengan melegalisasi pendirian multipartai dan kebebasan pers. Pada
tanggal 18 April 1992, dideklarasikan Republik Kedua Mauritania. Mauritania
termasuk pendukung Irak (Saddam Husein) ketika terjadi perang teluk tahun 1991.
Akan tetapi, anehnya, pada tahun 1999, Presiden Ahmed Taya menjalin hubungan
dengan Israel dan bersekutu dengan Amerika Serikat. Hal ini, sudah barang tentu
ditentang oleh negara-negara Arab. Presiden Ahmed Taya, masih mendapat
kepercayaan yang cukup besar dari rakyatnya (66% suara) sampai dengan tahun
2009, karena beliau terpilih kembali pada pemilihan presiden tanggal 7 Nopember
2003 yang lalu. Namun dia hanya memerintah sampai tahun 2005 karena terjadi
kudeta yang ketiga oleh Kolonel Ely Ould Mohamed
Vall. Kolonel Ely Ould Mohamed Vall juga dikudeta pada tahun2007 oleh Jenderal
Mohamed Ould Abdel Aziz.
Perekonomian
Sama halnya dengan politik, ekonomi juga
mengalami hal yang sama, Mauritania merupakan salah satu negara termiskin di
dunia. Selain faktor politik yang semerawut, hal ini juga diperparah dengan
kekeringan dan banjir kerap terjadi, ditambah pula dengan serangan hama
belalang ke tanaman para petani.
Mauritania mempunyai mata uang sendiri, yang dikenal dengan nama
‘Ouguiya’, dan berhasil menguasai Sahara Barat (Polisario) selama 4 (empat)
tahun (1975-1979). Dan bersahabat dengan para pejuang Polisario. Hal ini
berlangsung hingga tahun 1984.
Penduduk Mauritania masih bergantung
pada pertanian dan berternak sebagai matapencaharian. Untuk menunjang
perekonomian, pemerintah Mauritania secara ekstensif menggali sumberdaya alam
yakni biji besi[11] yang memiliki total ekspor
sebanyak 40%.
Pada Febuari tahun 2000, Mauritania
dikategorikan sebagai negara miskin terhutang paling berat. Pada tahun 2001,
Mauritania mendapat bantuan dari consultative group. Pada tahun 2001 ini pula
eksplorasi minyak mulai digalakkan.
Angka pertumbuhan ekonomi rata-rata
4,5%, dan angka inflasi sebesar 7%. Sementara angkatan kerja diserap oleh
pertanian sebanyak 50%, jasa 40% dan industri sebanyak 10%. Produk pertaniannya
adalah gandum, jagung, kurma, hasil peternakan dan beras. Sedangkan hasil tambang
berkisar pada petroleum, emas, biji besi, tembaga, gips. Hasil industrinya
hanya berkisar biji besi, perikanan dan gips.
Angka ekspor sebesar US 541 juta, dan
impor sebesar 860 juta. Komoditi eksfor adalah biji besi, produk perikanan, dan
emas. Patner ekspornya adalah Italia, Prancis, Jerman, Spanyol, Belgia, dan
Jepang. Sedangkan komoditi impor ialah mesin dan peralatan, produk perminyakan,
dan bahan makanan. Patner impornya yakni Cina, Prancis, Belgia, Spanyol, dan
Jerman. Mata uang mauritania yaitu ouguiyas 1 US = 271,24 MRO.
Untuk memperoleh devisa negara yang
cukup besar, Mauritania mengembangkan dunia turis dengan memanfaatkan keunikan
antara lautan Atlantik yang luas dengan gurun Sahara yang gersang. Keberadaan
259 spesies burung di pantai Mauritania menjadi daya tarik para peneliti,
disamping suku nomadic yang unik.
BAB IV
KESIMPULAN
Masuknya
Islam ke Mauritania dilatar belakangi oleh mengungungsinya suku Berber Sanhaja
ke Mauritania. Ketika itu ia dikejar oleh orang Arab dan Islam untuk
mengislamkan mereka, namun mereka menolak dan memilih untuk kabur meninggalkan
ajakan orang-oarang Arab. Abad ke 11-12 Islam mulai merambah ke Mauritania,
lalu terus berkembang dibawah kekuasaan Murabitun.
Sekitar
abad 20 Eropa masuk, dan dimulailah masa kolonial. Penduduk pribumi Mauritania
sangat menderita saat itu, mereka dijadikan budak, terus bekerja tanpa
difasilitasi jaminan kesehatan. Dengan keadaan seperti itu, Mauritania tentu
tak tinggal diam dan mendapat pemerintahan sendiri pada tahun 1958. Meskipun
begitu mereka terus berjuang hingga akhirnya mereka benar-benar merdeka pada
1960.
Pasca
kemerdekaan, keadaan negara Mauritania tidak terlalu membaik. Bahkan bisa
dikatakan buruk. Kudeta yang selalu terjadi serta mendapat peringkat negara
terutang terbanyak bukanlah prestasi yang membanggakan. Sampai sekarang, negara
yang menyatakan sebagai negara Islam tersebut belum menemukan posisi aman
sebagai sebuah negara dan mereka terus berjuang.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Ibrahim Qasim, Saleh Muhammad, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Zaman, 2014
Glasse, Cyril, Ensiklopedi
Islam (ringkas), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Syafi’i Antonio Muhammad dan Tim ZAKIA, Enslikopedia Peradaban Islam Andalusia,
Jakarta: Tim ZAKIA, 2012
Jawhari,
Yasir, al-Afriqiyah al-Islamiyah,
Iskandaria, Mesir : Darul Ma’ruf, 1980
Lapidus,
Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam
(bagian Tiga), Jakarta : Rajawali Pers, 1999
Soares,
Benjamin F. dan Otayek, Rene, Islam and
Muslim Politik in Afrika, Palgrave Macmillan, USA 2007
[2]
Yasir jawhari, al-Afriqiyah al-Islamiyah,
Iskandaria, Mesir : Darul Ma’ruf, 1980. Hlm. 306
[3]
Syafi’i Antonio Muhammad
dan Tim ZAKIA, Enslikopedia Peradaban
Islam Andalusia, Jakarta: Tim ZAKIA, 2012. Hlm. 120.
[4] Glasse, Cyril, op.cit.
[5]
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat
Islam (bagian Tiga), (Rajawali Pers, Jakarta 1999), hlm. 438
[6]
A. Ibrahim Qasim, Saleh Muhammad, Buku
Pintar Sejarah Islam Jejak langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, Jakarta: Zaman, 2014. Hlm. 1102-1104.
[7]
Ibid hlm. 1105
[8]
Yasir jawhari, al-Afriqiyah al-Islamiyah,
OP,. Cit, hlm. 306
[9]
Kebijakan ini mempunyai dampak positif dan negatif bagi negara Mauritania,
dampak positifnya adalah terciptanya sebuah kesatuan dari suku-suku yang
sebelumnya bertentangan, kesatuan juga di dapati dalam hal perekonomian. Namun
kebijakan satu partai tersebut berdampak negatif, karena menimbulkan kepada kelompok
oposisi. Terbukti tidak beberapa lama setelah kebijakan ini diterapkan Dadah
langsung dikudeta oleh pihak militer. Lihat Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (bagian Tiga), (Rajawali
Pers, Jakarta 1999), hlm. 440
[10]
Benjamin F. Soares dan Rene Otayek, Islam
and Muslim Politik in Afrika, Palgrave
Macmillan, USA 2007, hlm. 40
[11]
Yasir jawhari, al-Afriqiyah al-Islamiyah,
OP,. Cit, hlm. 309
Komentar
Posting Komentar