Agus Salim Wartawan Penopang Bangsa
Oleh: Desi Fitria
Judul Buku
|
Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik
|
Tim Penyunting
|
Arif Dzulkifli
|
Penerbit
|
TEMPO
|
Tahun Terbit
|
November 2015
|
Tempat Terbit
|
Jakarta
|
Cetakan
|
Ke-2
|
Jumlah Halaman
|
178, 16cm x 23cm
|
ISBN
|
978-979-91-0968-2
|
Lebih dari kurun waktu tiga abad Belanda menjajah Indonesia, banyak
kebijakan-kebijakan politik yang diterapkan di Indonesia, salah satunya
pembatasan media. Memang rakyat diperbolehkan menulis di surat kabar tapi itu
tak lepas dari pengawasan pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintahan Belanda
tidak mengizinkan pemberitaan yang menyudutkan colonial Belanda, untuk itu
sebelum surat kabar diterbitkan harus melalui perizinan pemerintahan
Hindia-Belanda terlebih dahulu.
Seperti kata pepatah dunia itu akan berputar, begitu juga pemikiran
dan respons masyarakat dan kaum elit Indonesia terhadap perlakuan colonial
Belanda. Beriringnya waktu, masyarakat merasa tertekan dan dirugikan oleh
Belanda, begitu juga dalam surat kabar yang tentunya sangat mempengaruhi pola
pikir masyarakat. Agus Salim, tokoh diplomat yang cerdik dan ulung dalam
berdebat. Ia mengeluarkan diri dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Hindia
Baroe ia menolak dan lebih memilih mengndurkan diri saat diperintahkan
untuk memperlunak kritik terhadap pemerintah colonial.
Namun Agus Salim memilih untuk mengundurkan diri dari Hindia
Baroe sebab permintaan pemerintah colonial telah melanggar kesepakatan
awal, tatkala menerima jabatan pemimpin redaksi Hindia Baroe ia memiliki
kebebasan untuk mengelolanya. Tak hanya di Hindia Baroe, ketika memimpin surat
kabar Neratja Agus Salim pun menolak pemerintah Belanda untuk membeli beberapa
ribu eksemplar Koran. Neratja sendiri merupakan media koran pertama yang
digeluti Agus Salim, ia mengelolanya bersama teman masa mudanya Landjumin.
Selanjutnya, Salim menjadikan Neratja sebagai Koran oposisi, dia
mejadikannya ke dalam dua istilah “kaum sana”dan “kaum sini” untuk mempertentangkan
antara kaum penjajah dan terjajah. Ia menunjukkan aspirasi rakyat untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Kendati demikian profesinya di Neratja tak berumur panjang.
Setelah itu ia berpindah haluan ke Bandera Islam di Yogyakarta, di
mana Bandera Islam dikelola oleh para petinggi Central Sarekat Islam (CSI)
seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Soekiman, dan Sjahboedin Latif. Selama kurang
lebih empat tahun eksis, Bandera Islam terlanda krisis keuangan. Akhirnya
Bandera Islam bergani nama menjadi Fajar Asia dan berpindah kantor ke Jakarta.
Agus Salim pergi ke Mukhtamar Alami Islamy Farulhim bil Syarqiyyah
di Mekkah, Arab Saudi, 1927. Sepulangnya dari sana, ia mendapat dana untuk menerbitkan surat kabar
dari pemerintah Arab, lantaran di sela-sela mukhtamar berdialog dengan penguasa
Saudi dan ia terkesan dengan ide yang diungkapkan Agus Salim dalam dialog
tersebut.
Alhasil Fadjar Asia dapat
terbit setiap hari bahkan sampai tersebar ke London, Den Haag, Moskow, India,
Cina, hingga Mesir. Ia berkeliling Sumatera, Jawa, dan wilayah-wilayah lainnya
untuk membuat laporan mengenai keadaan buruh-buruh yang tenaganya diperas
sementara upahnya sangat minim bahkan tak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Laporannya mengenai perlakuan colonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia terdengar sampai ke Himpunan Serikat Buruh Belanda (Nederland Verbond
van Vakverenigingen, NVV). Selepas itu Agus Salim diangkat sebagai penasihat
Konferensi Buruh Sedunia di Jenewa, Swiss. Dalam kesempatan tersebut, ia
berpidato megenai kelakuan pemerintah colonial, membeberkan kekejaman
pemerintah Hindia-Belanda. Pidatonya membuat pihak Amerika Serikat meninjau
ulang politik perdagangan dengan Belanda, kendati tersebut colonial belanda
mengubah kebijakan kolonialisemnya.
Ketika Agus Salim masih di Eopa, Fadjar Asia dan Tjokroaminoto sedang jatuh sakit posisi
pemimpin redaksi dialihkan kepada Kartosoewirjo. Keuangan Fadjar Asia merosot,
bahkan istri Salim, Zaitun Nahar menjual perhiasannya untuk menutupi kebocoran uang Fadjar Asia. Perusahaan
tersebut dengan terpaksa dipindahkan kepada Tjokroaminoto, semenjak itu pula
Salim tak lagi memiliki peran di Fadjar Asia, tepatnya 1930.
Pengalaman luas Agus Salim dalam bidang jurnalistik membuat
Persatuan Wartawan Indonesia menjadikannya sebagai anggota Dewan Kehormatan,
hasil perbincangan mengenai kode etik jurnalistk dengan Salim disahkan sebagai kode Etik Jurnalistik PWI dalam kongres
1955. Salim memiliki dua pedoman, pertama kebenaran itu harus ditegakkan melalui
perdebatan. Kedua, pekerjaan harus sesuai dengan prinsip-prnsip dasar yang ia
percayai.
Buku ini bagus untuk dibaca, menjelaskan perjuangan Agus Salim atau
tokoh-tokoh lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui surat kabar.
Selain itu buku ini juga menggambarkan begitu pentingnya suatu Negara
memepertahankan sebuah prinsip. Hal ini tergambar dari sikap Agus Salim, ia
menolak saat pemerintah colonial meminta ia memperhalus kritik terhadap
pemeritahan Hindia-Belanda, juga penolakan yang ia lakukan saat pemerintah
Belanda ingin membeli beberapa eksemplar Koran.
Berkaca dari prinsip Agus Salim “ Keyakinan saya tentang peri kehidupan dan pendapat saya tentang
pemerintah Hindia-Belanda serta kebijakan-kebijakannya, saya tidak bersedia
tawar-menawar.”
Komentar
Posting Komentar